CERITA LEGENDA BUKIT KELAM DI DAERAH SINTANG
Alkisah, di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, hiduplah dua orang bersaudara dari keturunan dewa yang memiliki kesaktian tinggi, namun keduanya memiliki sifat yang sangat jauh berbeda. Yang pertama bernama Sebeji atau dikenal dengan sebutan Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka loba, merusak, pendengki, serakah dan sombong. Tidak seorang pun yang boleh memiliki ilmu yang melebihi kesaktiannya. Akibat dari sifatnya itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga sedikit sekali pengikutnya. Sementara seorang lainnya bernama Temenggung Marubai. Sifatnya sangat berbeda 180o dari sifat Bujang Beji. Ia memiliki sifat tidak serakah, suka menolong, berhati mulia, dan rendah hati. Kedua pemimpin tersebut bermata pencaharian berladang dan berkebun di samping yang lebih utama adalah menangkap ikan.
Bujang Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan Temenggung Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di kedua Simpang sungai tersebut jenisnya beraneka ragam dan jumlahnya sangat banyak. Namun dikarenakan cara menangkap ikan yang berbeda dari kedua pemimpin tersebut, tidak heran jika setiap hari Temenggung Marubai selalu mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.
Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan cara menggunakan bubu (perangkap ikan) raksasa dari batang bambu dan menutup sebagian arus sungai dengan bebatuan, sehingga dengan mudah ikan-ikan terperangkap masuk ke dalam bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian dipilihnya, hanya ikan besar saja yang diambil, sedangkan ikan-ikan yang masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai. Dengan cara demikian, ikan-ikan di sungai di Simpang Melawi tidak akan pernah habis dan terus berkembang biak, dikarenakan ikan kecil yang dilepas tadi akan dibiarkan menjadi besar untuk ditangkap kembali.
Melihat keberhasilan Temenggung Marubai tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai. Bujang Beji pun tidak mau kalah, ia pergi menangkap ikan di sungai di Simpang Kapuas dengan cara menuba (racun). Dengan cara itu, ia mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak dari saingannya. Pada awalnya, ikan-ikan yang diperoleh Bujang Beji dapat melebihi hasil tangkapan Temenggung Marubai. Namun, lambat laun, ikan-ikan di sungai Simpang Kapuas hampir habis, dikarenakan ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara menuba akan memusnahkan ikan, karena tidak hanya ikan besar saja yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin hari hasil tangkapannya pun semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap memperoleh hasil tangkapan yang tidak akan habis karena ikan-ikan kecil yang dilepas tadi selalu berkembang biak. Hal itu membuat Bujang Beji semakin dengki dan iri hati kepada Temenggung Marubai.
Sejenak ia merenung ”Wah, gawat jika keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan geram. Iapun mencari cara agar ikan-ikan yang ada di kawasan Sungai Melawi habis. Setelah sekian lama berpikir, ia pun menemukan suatu cara yang brilian, yakni menutup aliran ke Sungai Melawi dengan batu besar di hulu Sungai Melawi. Dengan demikian, aliran Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan menetap di hulu sungai.
Setelah perhitungannya matang, Bujang Beji pun memutuskan untuk mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memotong puncak Bukit Batu yang besar itu dan dipiku dipundaknya . Karena jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi cukup jauh, dengan kesaktiannya pula ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun ilalang.
”Aduuuhhh… !” jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan rasa sakit.
Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang tadi terputus. Akibatnya, puncak bukit batu jatuh dan tenggelam di sebuah rantau ( sebuah cekungan berbentuk teluk berupa rawa) yang disebut Jetak. Dengan geram, Bujang Beji segera menatap wajah dewi-dewi yang masih menertawakannya.
”Awas, kalian ! Tunggu saja pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi tersebut sambil menghentakkan kakinya ke arah bukit sekitarnya untuk melepaskan duri beracun yang enempel di kakinya.
”Enyahlah kau duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan perasaan marah.
Setelah duri itu terlepas, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk digunakan mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rawa Jetak itu. Namun, Bukit Batu itu sudah menancap sangat dalam pada rawa Jetak, sehingga bukit panjang yang digunakan mencongkel itu patah menjadi dua. Bujang Beji pun akhirnya gagal memindahkan puncak Bukit Batu untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat marah dan berniat untuk membalas dendam kepada dewi-dewi yang telah
Setelah duri itu terlepas, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk digunakan mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rawa Jetak itu. Namun, Bukit Batu itu sudah menancap sangat dalam pada rawa Jetak, sehingga bukit panjang yang digunakan mencongkel itu patah menjadi dua. Bujang Beji pun akhirnya gagal memindahkan puncak Bukit Batu untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat marah dan berniat untuk membalas dendam kepada dewi-dewi yang telah
menertawakannya itu. Apa yang semua telah dilakukan Bujang Beji diketahui oleh Tumenggung Marubai. Tumenggung Murubai hanya diam dan tersenyum saja ketika mengetahui bahwa para dewi menertawakan sikap Bujang Beji.
Sementara itu Tumenggung Marubai dan anak buahnya seperti biasa, mengangkat bubu mereka dan dari beberapa tempat bubu yang mereka pasang berhasil menangkap banyak ikan. Dengan hasil dari menangkap ikan tersebut, kehidupan sehari-hari mereka kian hari menjadi lebih dan lebih baik. Bujang Beji menjadi semakin iri melihat keberhasilan Tumenggung Marubai dan marah kepada para dewi mentertawakan atas tindakannya.
Untuk dapat melaksanakan niat dendamnya, Bujang Beji kemudian menanam pohon Kumpang Mambu (kayu raksasa yang menjulang sampai ke langit) yang akan dipergunakan sebagai jalan ke Kayangan dan membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya. Dalam hitungan beberapa hari, pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke angkasa. Puncaknya tidak tampak jika dipandang dari bawah.
Sebelum memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Beji melakukan upacara sesajen adat yang disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu upacara memberi makan kepada seluruh binatang dan roh jahat di sekitarnya agar tidak menghalangi niatnya dan berharap dapat membantunya sampai ke kayangan.
Namun, dalam upacara tersebut ada beberapa binatang yang terlupakan oleh Bujang Beji, sehingga tidak dapat menikmati sesajennya. Binatang itu adalah kawanan sampok (Rayap) dan Beruang. Mereka sangat kecewa, marah dan murka, karena merasa diremehkan dan tidak dihargai oleh Bujang Beji.
Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat bagaimana menggagalkan niat Bujang Beji agar tidak mencapai kayangan. Seluruh peserta rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, mencapai kata mufakat untuk menggagalkan rencana Bujang Beji dengan cara menghancurkan pohon tersebut disaat Bujang Beji sedang memanjatnya.
Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun berdatangan menggerogoti akar dan batang pohon itu. Oleh karena jumlah mereka sangat banyak, pohon kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai goyah. Pada saat Bujang Beji akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar suara keras yang teramat dahsyat.
”Kretak… Kretak… Kretak… !!!” Beberapa saat kemudian, pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun roboh bersama dengan Bujang Beji.
”Tolooong… ! Tolooong…. !” terdengar suara Bujang Beji menjerit meminta tolong. Pohon tinggi itu terhempas di hulu sungai Kapuas, tepatnya daerah Kapuas Hulu, di antara Danau Luar dan Danau Belidak. Bujang Beji yang ikut terhempas bersama pohon itupun mati seketika. Maka gagal sudah usaha Bujang Beji untuk membinasakan dewi-dewi di kayangan, sedangkan Temenggung Marubai terhindar dari bencana yang telah direncanakan oleh Bujang Beji.
Menurut cerita, tubuh Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di
Sekitarnya
untuk dijadikan jimat kesaktian. Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji menjelma menjadi Bukit Kelam. Kelam berarti warna gelap. Gelap adalah warna dari waktu malam. Itulah mengapa disebut Gunung Kelam. Patahan bukit yang berbentuk panjang yang digunakan Bujang Beji untuk mencongkelnya menjelma menjadi Bukit Liut. Adapun bukit yang menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji saat menginjak duri beracun, diberi nama Bukit Rentap. Dasar gunung Nanga Silat yang puncaknya telah diangkat oleh Bujang Beji bernama Bukit Tanggul.
Tidak begitu jauh dari gunung di hulu Sungai Melawi Nanga Pinoh, kita dapat menemukan Batu Lintang. Berdasarkan cerita rakyat, Batu Lintang adalah bekas batu penahan untuk menempatkan bubu yang dibuat oleh Tumenggung Marubai, dan juga Batu Tinting yang terletak antara Wilayah Tempunak dan Sintang. Bila air sungai Kapuas menyusut, tiga-empat batu bisa dilihat dengan jelas.